Kaum Madyan dan Akibat Kecurangan
"Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (al-Muthaffifin ayat 1-3)
DALAM surah
al-Muthaffifin ayat 1-3 orang yang berbuat curang ditegur dengan begitu keras. Ayat
itu didahului dengan kata “wail” yang berarti celaka dan siksa. Ada
juga mufasir yang mengartikannya sebagai neraka Wail. Apapun itu maknanya,
keduanya sama-sama bermakna ancaman kepada orang berbuat curang.
Kecurangan pada ayat
itu bukan saja dilakukan oleh individu tapi sudah secara kolektif. Paling nyata
adalah dalam dunia perniagaan di mana mereka ketika kepentingan untuk diri
sendiri, memintah ditambah. Tapi, giliran untuk orang lain, timbangan
dikurangi. Orang semacam ini sungguh keji di hadapan Allah Ta’ala.
Kisah kaum Nabi
Syu’aib adalah gambaran nyata bagaimana kecurangan sudah dilakukan secara
kolektif. Dalam surah Hud [11] ayat 84 dan 85 misalnya, beliau memberi nasihat:
“Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).”
Beliau mengingatkan kaumnya agar jangan mengurangi
takaran dan timbangan sebagai bentuk kecurangan yang mereka lakukan secara
kolektif pada zaman itu.
Pada ayat berikutnya, ada penekanan nasihat kembali: “Dan
Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil,
dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
Melihat problem itu begitu parah di masyarakat, Nabi
Syu’aib mengingatkan agar mereka menegakkan kembali prinsip keadilan, tidak
merugikan hak orang lain, serta melarang mereka berbuat kejahatan atau
kerusakan di muka bumi. Karena, apa yang dilakukan mereka berdampak negatif
pada skala publik.
Ketika nasihat itu tak dihiraukan, malah semakin
menjadi-jadi dan menentang, maka kaum Nabi Syu’aib yang membangkang diazab oleh
Allah Ta’ala. Sebagai sebuah gambaran bahwa kecurangan yang dilakukan
secara kolektif, menyebabkan kerusakan yang kolektif pula bagi masyarakat.
Kecurangan dalam Islam memang
salah satu perbuatan keji yang wajib dihindari. Dalam hadits Nabi, ada banyak
pembahasan tentang kecurangan. Contohnya hadits riwayat Abu Hurairah. Beliau
pernah bercerita; suatu hari, Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam melewati
setumpuk makanan. Selanjutnya, beliau berinisiatif memasukkan tangan ke
dalamnya.
Syahdan, beliau menyentuh atau
mendapati sesuatu yang basah di dalamnya. Melihat kejadian ini, beliau
bertanya:
“Wahai pemilik makanan! Apa
ini?” Beliaupun menegurnya kenapa sesuatu yang basah itu tidak diletakkan di
luar saja sehingga bisa dilihat oleh orang yang mau membelinya.
Dengan sangat tegas beliau
menambahkan statemen:
“Barangsiapa menipu (berbuat curang) maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut mengandung pelajaran yang amat penting.
Perbuatan penipuan, kecurangan yang merugikan orang adalah perbuatan yang
tercela. Hal ini bukan saja terbatas masalah jual beli, tapi segala bentuk dan
macam kekurangan.
Dalam kaidah ushul fikih, kata “man” (barangsaiapa) menunjukkan pada keumuman. Artinya, siapa saja yang berbuat curang, menipu orang dalam berbagai bidang yang menyalahi koridor syariat, maka masuk dalam kategori bukan golongan Nabi.
Bukan golongan Nabi, berarti akan dijauhkan dari rahmat
Allah. Jauh dari rahmat Allah, berarti dijauhkan dari surga dan didekatkan
kepada neraka. Karena itu, setiap Muslim sudah seyogianya menjaga diri agar
tidak berbuat curang.
Terlebih jika dirinya diberi amanah oleh orang banyak
untuk melakukan tugas yang berdampak kepada orang banyak. Kecurangan semacam
ini, dosa dan bahayanya jauh lebih besar. Apalagi, jika itu dilakukan bukan
hanya oleh oknum, tapi sudah menjadi tradisi.
Maka dari itu, berdasarkan nash-nash di atas, bagi
orang yang berniaga, atau diberi amanah untuk menjalankan tugas bagi orang
banyak, harap berhati-hati. Kecurangan bisa menjadi menguntungkan secara
pribadi dalam jangka pendek, namun akibat dari kecurangan itu akan berimbas ke
masyarakat luas. Yang lebih parah lagi, orang-orang yang curang bukan bagian
dari golongan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bila suatu negeri menghadapi kecurangan masif, maka
hal itu tidak bisa didiamkan. Perlu ada upaya nahi munkar. Sebab, jika
kemunkaran dibiarkan, orang yang baik pun akan terkena imbasnya.
Pada kasus kaum Nabi Hud, sebenarnya terkandung
solusi jitu agar suatu komunitas terhindar dari bencana besar akibat kecurangan
(sebagaimana ayat 85 dan 90) yaitu dengan menegakkan kembali keadilan,
beristighfar, dan bertaubat kepada Allah. Jalan untuk menuju keselamatan masih
terbuka lebar.*
*Hidayatullah.com/Mahmud Budi Setiawan
Komentar
Posting Komentar